Bagaimana Kalau Tak Ada Para Nelayan?

Saat nelayan menolong para korban.
(Sebuah Catatan Reflektif)

Tragedi kebakaran KM Barcelona VA di Perairan Talise, Minahasa Utara, pada Minggu siang, 20 Juli 2025, kemarin mengingatkan kita pada satu hal mendasar: laut bukan hanya ruang transportasi, tetapi juga ruang risiko. 

Ini bukan kali pertama sebuah kapal penumpang mengalami insiden besar di kawasan perairan Sulawesi Utara. Empat puluh enam tahun sebelumnya, KM Senayan tenggelam di perairan Sanggaluhang, kini Kecamatan Tatoareng. Menurut informasi ratusan nyawa hilang. Hanya enam yang selamat. 

KM Barcelona VA memang tidak tenggelam. Tapi api yang membakar tubuh kapal memaksa penumpang melompat ke laut dalam kepanikan. Kesaksian mereka menggambarkan situasi yang kacau: berdesakan mengambil jaket pelampung tak semua kebagian, liferaft tidak digunakan, dan sebagian besar penumpang berada di laut selama 30 hingga 60 menit tanpa kepastian kapan bantuan datang. 

Dalam situasi krisis, pelatihan keselamatan dan respons tanggap darurat semestinya menjadi rujukan utama. Tapi di sinilah kita belajar bahwa teori sering kali terhambat oleh kepanikan dan ketidaksiapan.

Namun di tengah kekacauan itu, satu fakta menyentuh muncul, para nelayan datang lebih dulu. Mereka bukan bagian dari tim penyelamat resmi. Mereka tidak menggunakan seragam atau membawa alat komunikasi canggih. 

Tapi mereka datang, bergerak berdasarkan naluri dan rasa tanggung jawab yang barangkali tak pernah dilatih, tapi tertanam oleh kedekatan mereka dengan laut dan sesama manusia.

Mereka melihat asap, mencurigai ada yang tak beres, dan tanpa banyak pertimbangan, mendekati kapal. Perahu-perahu mereka mendekat, dan satu demi satu penumpang dievakuasi ke pesisir pulau-pulau terdekat seperti Gangga dan Talise. Mereka tidak menunggu instruksi. Mereka bergerak. Dan mereka menyelamatkan ratusan nyawa.

Pertanyaannya kini muncul dengan pelan tapi tegas, bagaimana kalau tak ada para nelayan?

Apakah kita akan kembali mencatat peristiwa seperti KM Senayan dalam buku sejarah kecelakaan laut di Nusa Utara? Apakah angka korban akan jauh lebih besar jika tidak ada tangan-tangan warga yang langsung turun mengevakuasi?

Pertanyaan ini penting bukan hanya untuk mengenang peran para nelayan, tetapi juga untuk menelisik lubang-lubang dalam sistem mitigasi bencana laut kita. Mengapa prosedur keselamatan di kapal masih kerap tidak berjalan efektif? 

Mengapa liferaft tidak sempat digunakan? Apakah awak kapal memahami betul alat-alat penyelamatan di atas kapal? Bagaimana sebenarnya kualitas pelatihan keselamatan yang mereka terima?

Kita juga patut bertanya kepada otoritas pelayaran: apakah batas kapasitas penumpang benar-benar diawasi secara ketat? Apakah muatan berbahaya, seperti bahan bakar dan potensi api dari rokok - dikelola dengan standar keselamatan yang memadai?

Tulisan ini tidak ditulis untuk menyalahkan siapa pun secara langsung. Tapi sebuah tragedi, betapapun perih adalah kesempatan untuk bercermin. Dan dalam tragedi ini, kita diberi pelajaran penting: bahwa sistem bisa gagal, tapi solidaritas warga bisa menyelamatkan. 

Bahwa negara bisa terlambat, tapi tetangga di pulau sebelah bisa menjadi penyambung nyawa. Maka para nelayan yang hari itu datang bukan hanya penyelamat. Mereka adalah simbol dari sesuatu yang lebih besar: bahwa di tengah kerentanan, ada kekuatan yang tumbuh dari kearifan lokal, dari kepekaan yang tak tertulis dalam protokol.

Sudah saatnya kita bukan hanya memberi mereka ucapan terima kasih, tetapi juga tempat dalam sistem penanggulangan bencana. Memberi pelatihan, dukungan, dan pengakuan, agar mereka bisa tetap menjadi garda depan, bukan karena terpaksa, tetapi karena dihargai.

Pada akhirnya, pertanyaan sederhana itu tetap penting untuk terus kita gumamkan, sebagai pengingat:
Bagaimana kalau tak ada para nelayan? (Admin/FB: Sangirees) #TragediBarcelonaVA #Nelayan #BarcelonaVA 








0 Komentar