Oleh: Sobar Harahap
Orang bijak berkata semua angka itu baik, tapi orang berilmu akan menyebut baik buruknya angka selalu bergantung pada guna. Angka tiga misalnya. Ada pepatah berbunyi, jika ada dua orang berkelahi memperebutkan sekeranjang apel, orang ketigalah yang mendapatkan apel itu. Makna pepatah itu, di dalam sebuah konflik antara dua orang, pihak ketiga adalah penentu perdamaian.
Artinya, tiga itu menyatukan. Untuk itu wajar jika di Pancasila, sila ketiga berbunyi "Persatuan Indonesia". Sila ketiga itulah yang menjaga keseimbangan di antara lima sila itu. Tiga menjadi tidak baik jika itu sudah berurusan jabatan "tiga periode" yang jelas-jelas membahayakan negara. Tiga juga menjadi hal yang memalukan ketika berkaitan dengan sosok yang nyalon sampai tiga kali tapi gagal terus.
Tetapi tiga benar-benar jadi kabar gembira pada pengundian nomor urut pilpres kemarin. Ganjar - Mahfud dapat angka tiga. Kegembiraan itu datang lantaran makna tiga benar-benar mewakili sosok seorang Ganjar. Sebagai orang yang terlahir di Jawa, kaitan angka tiga ibarat perwujudan dari sebuah makna lahir batin dari sosok Ganjar.
Orang Jawa menyebut angka tiga sebagai "tigo", artinya "ati lan rogo" atau hati dan raga. Ibaratnya, dalam urusan capres kali ini, orang yang paling cocok memimpin Indonesia adalah ia yang paling mampu dan siap secara hati dan raga. Lihatlah betapa lapang hati sosok seorang Ganjar itu. Lahir dari keluarga miskin. Berangkat berpolitik dari nol, mulai dari kader, kemudian nyaleg, sampai kemudian terpilih memimpin Jawa Tengah sampai dua kali.
Lebih dua puluh tahun Ganjar meniti jalan sebagai pemimpin. Menghadapi keluh kesah rakyat tanpa kenal lelah. Kalau hatinya tidak sabar dan tawakal, mana mungkin Ganjar bisa sampai di titik ini. Urusan "ati" Ganjar sudah membuktikannya.
Hatinya tulus memperjuangkan mandat rakyat. Ia bukan tipe pemimpin yang doyan menerobos lampu merah. Memanfaatkan jabatan orang tua dan keluarga, sama sekali bukan sifat Ganjar. Apalagi sampai mengadali peraturan hukum hanya demi maju pilpres, oh jauh kayu dari api.
Bagi Ganjar, meniti dari bawah itu perlu. Sebelum memimpin, siapa pun harus bisa merasakan lapar dan bau keringat rakyatnya yang ada di bawah. Jampir tiap hari Ganjar bersentuhan langsug dengan rakyat. Pertanyaannya, apa Ganjar tidak lelah?
Oh, pasti sangat lelah. Tapi nyatanya tubuh Ganjar memang terlahir untuk rakyatnya. "Rogo" yang Ganjar miliki justru semakin bugar dan lincah tiap kali bertemu muka dengan petani, pedagang pasar, sopir, nelayan, hingga anak-anak sekolah. Ganjar punya "rogo" yang benar-benar siap untuk menjadi mimpin.
Begitulah Ganjar, tubuhnya begitu jujur. Lidah mungkin bisa bohong, tapi gestur tubuh Ganjar menjelaskan kejujurannya tanpa tedeng aling-aling. Ini sangat berbeda dengan salah seorang capres pecatan jenderal yang justru gampang marah saat ketemu langsung dengan rakyat.
Pura-pura bertingkah lucu dengan berjoget-joget ternyata tidak menutupi watak aslinya. Kemarin belum lama ini malah ia justru memarahi seorang kiai kampung gara kiai itu bersikap kritis padanya. Sungguh topeng belaka.
"Ati" dan "Rogo" Ganjar selalu terisi energi positif tiap kali ia makan lesehan bareng warga kampung. Dengan nasi dan lauk yang sama pula. Tenaganya juga kian pesat saat Ganjar tanpa rikuh menginap di rumah warga di pelosok-pelosok desa.
Posting Komentar